IMPLEMENTASI KEBIJAKAN TRANSPORTASI PUBLIK BUS TRANSJAKARTA BUSWAY DALAM RANGKA MENGURANGI KEMACETAN




BAB I
PENDAHULUAN


1.1       Latar Belakang
            Pelayanan publik (Public Service) atau pelayanan umum  merupakan segala bentuk kegiatan dalam bentuk pelayanan jasa, baik dalam bentuk barang maupun jasa yang  menjadi tanggung jawab pemerintah. Didalam keputusan Menteri Aparatur Negara  Nomor: Kep/25/M.Pan/2/2004 Tentang  Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan Instansi Pemerintah, Pelayanan publik adalah segala kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan penerima pelayanan, maupun dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kegiatan pelayanan publik sifatnya umum karena mencakup hajat hidup orang banyak.
          Pelayanan publik juga dapat dijadikan sebagai tolak ukur dari hasil kinerja pemerintah dalam melayani masyarakat. Kualitas pelayanan publik mencerminkan kinerja dari pemerintah itu sendiri. Masyarakat merupakan objek yang merasakan langsung dari dampak pelayanan publik tersebut. Keberhasilan pemerintah dalam membangun pelayanan publik dilihat dari professionalisme, efektifitas, dan efisiensi.
            Namum pada kenyataannya pelayanan publik di Indonesia belum sepenuhnya berjalan dengan baik. Penyelenggaraan pelayanan publik yang dijalankan oleh pemerintah belum berjalan secara professional, efektif, dan efisien. Banyaknya keluhan dan pengaduan dari masyarakat mencerminkan belum maksimalnya kinerja pemerintah selaku penyelenggara pelayanan publik. Ditingkat ASEAN saja Indonesia termasuk negara yang paling buruk dalam pelayanan publik. Indonesia saat ini sudah tertinggal oleh Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Sedangkan negara yang paling maju dalam urusan pelayanan publik di tingkat ASEAN adalah Singapura. Hasil dari laporan World Bank tahun 2011, Indonesia berada di posisi 129 dari 150 negara penyelenggara pelayanan publik.
            Salah satu pelayanan publik yang dijalankan oleh pemerintah Indonesia adalah pelayanan trasnportasi umum. Pada awalnya, tujuan dari pembangunan pelayanan trasnportasi di Indonesia adalah untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, pengembangan wilayah, dan pemersatu Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pembangunan trasnportasi di Indonesia berpedoman pada sistem transportasi nasional (Sistranas), yang diarahkan untuk mendukung perwujudan Indonesia menjadi lebih sejahtera dan mewujudakan Indonesia yang aman, adil dan, demokratis.
            Namun pada kenyataannya,pelayanan transportasi di Indoensia belum berjalan sesuai dengan harapan. Berbagai fenomena permasalahan muncul didalam tatanan sistem transportasi di Indonesia khususnya di kota-kota besar seperti Jakarta, buruknya pelayanan, kecelakaan, kemacetan, kriminalitas, dan sarana fasilitas umum yang rusak menjadi tontonan sehari-hari. Sistem transportasi di Ibu Kota Jakarta menjadi semakin semerawut. Jumlah kapasitas sarana trasnportasi publik belum dapat mengimbangi jumlah mobilitas penduduk seperti yang terjadi di Ibu Kota Jakarta. Kendaraan umum yang ada di kota-kota besar di Indonesia umumnya berukuran kecil dan tidak seimbang dengan jumlah pengguna trasnportasi. Dan parahnya jumlahnya sangat banyak.
           Fenomena yang terjadi di Indonesia, transportasi publik lebih diutamakan sebagai sarana kepentingan bisnis daripada kepentingan umum. Transportasi publik saat ini tidak lagi memperhatikan aspek kepentingan umum seperti aspek keselamatan masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari tingginya angka kecelakaan disektor transportasi publik. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Departemen Perhubungan (Ditjen Hubdar Dephub) rata-rata korban meninggal dunia dalam 1 tahun sejumlah 10.696 jiwa atau setiap harinya lebih dari 20 keluarga yang harus kehilangan anggota keluarganya. Rendahnya kedisiplinan pengemudi transportasi publik menjadi penyebab terjadinya kecelakaan. Tingginya angka kecelakaan di sektor transportasi publik disebabkan banyaknya pelanggaran-pelanggaran aturan lalu lintas. Pelanggaran yang sering dilakukan oleh para supir antara lain, mengemudi ugal-ugalan, menyerobot lampu merah, surat-surat yang tidak lengkap, pelanggaran marka jalan, dan jumlah muatan yang melebihi kapasitas. Masalah menjadi bertambah parah dengan mudahnya pemberian izin trayek kepada para pengusaha angkutan umum. Pemberian izin trayek ini justru menjadi kesempatan bagi para pejabat untuk meraup keuntungan. Namun disisi lain, pemberian izin pembukaan trayek baru menciptakan lapangan pekerjaan baru.
           Transportasi adalah pemindahan manusia atau barang dari satu tempat ke tempat lainnya dengan menggunakan sebuah kendaraan yang digerakkan oleh manusia atau mesin. (wikipedia.org). Dengan adanya trasnportasi diharapkan dapat memudahkan manusia dalam melakukan aktivitasnya sehari-hari.Transportasi sangat diperlukan untuk wilayah yang memiliki jumlah populasi yang besar. Sebut saja Jakarta, pada tahun 2010 Ibu Kota Negara Republik Indonesia ini memiliki jumlah penduduk sekitar 9,607,787 jiwa (http://www.bps.go.id/). Jumlah penduduk akan menjadi bertambah disiang hari, ketika penduduk dari luar Jakarta (Bogor, Depok, Bekasi, dan Tanggerang) keluar masuk untuk bekerja di Jakarta. Ini artinya mobilitas penduduk Jakarta dan sekitarnya sangat tinggi. Diperlukan moda transportasi masal yang dapat memindahkan mobiltas penduduk dalam jumlah yang besar. Tranportasi masal tersebut tidak hanya menghubungkan antar wilayah di sekitar Jakarta saja, tetapi juga menghubungkan antar wilayah disekitar Jakarta (hiterland) seperti Bogor, Depok, Bekasi, dan Tanggerang (Bodetabek), agar memudahkan penduduk yang melakukan perjalan ulang alik setiap harinya. 
            Didalam harian Kompas (Selasa, 12 Oktober 2010 | 09:06) WIB disebutkan berdasarkan data Polda Metro Jaya, jumlah perjalanan di Jakarta mencapai pada bulan mei 2010 mencapai 20,7 juta perjalanan per hari. Jumlah tersebut belum termasuk jumlah perjalanan dari Tanggerang 850.000 perjalan per hari, Depok 600.000 perjalan per hari, dan Bekasi 550.000 perjalan per hari. Dari jumlah tersebut, 44 persen diantaranya dilayani oleh kendaraan pribadi dan 56 persen dilayani oleh angkutan umum. Didalam harian Kompas (Selasa, 12 Oktober 2010 | 09:06) juga disebutkan, jumlah kendaraan bermotor di DKI Jakrta pada tahun 2009 mencapai 6,5 juta unit yang terdiri dari 98,6 persen kendaraan pribadi atau 6,4 juta unit, dan angkutan umum 1,4 persen atau 88,477 unit. Dan jumlah tersebut diperkirakan akan terus bertambah.Meningkatnya jumlah kendaraan bermotor tidak diimbangi dengan jumlah kapasitas jalan yang hanya bertambah sekitar 0,01 persen setiap tahunnya. Sehingga menimbulkan kemacetan disejumlah jalan protokol di DKI Jakarta. Kemacetan di Jakarta tidak hanya disebabkan oleh jumlah kendaraan yang terus bertambah, tetapi juga disebabkan oleh ketidak disiplinan para pengedara yang sering melanggar peraturan rambu-rambu lalu lintas.
        Untuk mengurangi kemacetan di Jakarta, beberapa upaya telah dilakukan oleh pemerintah Provinsi DKI Jakarta, seperti pemberlakuan kebijakan 3 in 1 di jalan-jalan tertentu. Kebijakan 3 in 1 ini telah diterapkan pada tahun 2003 melalui keputusan Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 4104/2003 Tanggal 23 Desember 2003, tujuannya untuk mengurangi kemacetan di Jakarta. Secara konsiten jumlah kendaraann pribadi seperti mobil  terus bertambah dan ramalan kemacetan total pun semakin menjadi kenyataan (kompasiana 28 February 2013 | 16:44). Namun kebijakan 3 in 1 ini tidak berjalan secara efektif. Kebijakan 3 in 1 yang diimplementasikan di DKI Jakarta belum mampu mengurangi kemacetan. Rendahnya ketidak disiplinan dan ketidak tegasan aparatur penegak hukum menjadi penyebab tidak berjalannya kebijakan 3 in 1 dalam mengurangi kemcaetan. Bahkan di tahun 2013 ini, rencananya kebijakan 3 in 1 akan di hapus oleh pemerintah DKI Jakarta dengan alasan tidak bisa mengatasi kemacetan. Sebagai penggantinya, pemerintah DKI Jakarta mulai tahun 2004 fokus pada pembangunan sistem transportasi masal. Tujuannya agar penduduk DKI Jakarta dapat berlalih dari kendaraa pribadi ke transportasi masal.
             Sejak tahun 2004, pemerintah DKI Jakarta meluncurkan transportasi massal busway. Tujuannya agar para pengguna kendaraan pribadi berpindah ke transportasi umum. Sistem transportasi busway ini diharapkan dapat mengurangi kemacetan di Jakarta. Ide pembangunan proyek Bus Rapid Transit (BRT) atau Busway di Jakarta, sebenarnya sudah muncul sejak tahun 2001. Sistem Bus Rapid Transit ini terisnpirasi dengan proyek yang ada di Bogota. Sistem ini dimodelkan berdasarkan sistem TransMilenio yang sukses di Bogota, Kolombia. Kemudian ide ini menjadi sebuah tantangan untuk gubernur Sutiyoso yang terpilih sebagai gubernur DKI Jakarta untuk periode yang kedua (2002-2007). Sebuah institut bernama Institute for Transportation & Development Policy (ITDP) menjadi pihak penting yang mengiringi proses perencanaan proyek ini. Konsep awal dari sistem ini dibuat oleh PT. Pamintori Cipta, sebuah konsultan transportasi yang sudah sering bekerjasama dengan Dinas Perhubungan DKI Jakarta. Selain pihak swasta, terdapat beberapa pihak lain yang juga mendukung keberhasilan dari proyek ini, di antaranya adalah badan bantuan Amerika (US AID) dan The University of Indonesia’s Center for Transportation Studies (UI-CTS). (http://id.wikipedia.org/wiki/Transjakarta)
           Bus Transjakarta atau Busway memulai operasinya pada 15 Januari 2004 dengan tujuan memberikan jasa angkutan yang lebih cepat, nyaman, namun terjangkau bagi warga Jakarta. Untuk mencapai hal tersebut, bus ini diberikan lajur khusus di jalan-jalan yang menjadi bagian dari rutenya dan lajur tersebut tidak boleh dilewati kendaraan lainnya (termasuk bus umum selain Transjakarta). Agar terjangkau oleh masyarakat, maka harga tiket disubsidi oleh pemerintah daerah. (http://id.wikipedia.org/wiki/Transjakarta)
                Namun dalam perjalanannya, sistem transportasi massal Busway tidak berjalan dengan mulus. Pada tahun 2011, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia atau YLKI memberikan penilaian bahwa pelayanan Bus Transjakarta Busway merupakan pelayanan busway paling buruk didunia. Penilaian pelayanan Bus Transjakarta di lihat dari kondisi bus yang sudah mulai tua dan rusak. Selain itu masalah ketepatan waktu juga menjadi penilaian. Bus Transjakarta belum memiliki waktu tempuh yang ideal. Jarak waktu tempuh (headway) antara kedatanagna Bus Transjakarta dengan Bus Transjakarta lainnya tidak dapat diprediksi pada saat memasuki halte. Sehingga menyebabkan penumpukan penumpang di sejumlah halte Busway. Hal ini seperti yang terjadi di halte Busway Kampung Melayu, dimana sejumlah penumpang berdesak-desakan untuk mendapatkan Busway yang akan mereka tumpangi. Halte Busway Kampung Melayu merupakan tempat transit antara Busway koridor 5 jurusan Kampung Melayu – Ancol, koridor 7 jurusan Kampung Rambutan – Kampung Melayu, dan koridor 11 jurusan Kampung Melayu – Pulo Gebang.
              Berdasarkan hasil Institut Studi Transportasi (INSTRAN) menyebutkan, berdasarkan Data Instute for Transportasi and Development Policy (ITDP), jumlah penumpang busway pada tahun 2009 dan 2010 mengalami penurunan sebesar 6 %. Padahal jumlah penumpang busway 2005 ke 2006 mengalami peningkatan dari 20,7 juta penumpang menjadi 38,8 juta penumpang atau meningkat sebesar 87 %. Padahal jumlah panjang jalur koridor Busway hingga tahun 2012 mencapai 170 Km, dan merupakan jalur koridor busway terpanjang di dunia. Seharusnya jumlah penumpang busway terus bertambah dan kemacetan pun berkurang.
            Selain itu permasalahan lain yang harus diperhatikan oleh pemprov DKI Jakarta adalah kualitas armada bus. Saat ini sudah beberapa kali Bus Transjakarta yang terbakar disejumlah koridor. Hal ini seperti yang terjadi koridor III jurusan Kalideres – Pasar Baru jalan Daan Mogot, dimana Busway terbakar diduga dari konsleting listrik dari ruang mesin bus. Namun untungnya tidak ada korban jiwa dalam peristiwa ini karena busway dalam keadaan kosong. Tapi kondisi ini harus menjadi perhatian pemerintah Provinsi DKI Jakarta selaku penyelenggara Bus Transjakarta.
            Penanganan permasalahan trasnporatsi di DKI Jakarta khususnya Bus Transjakarta sangat penting. Dalam meningkatkan kualitas pelayanan transportasi massal, pemerintah Provinsi DKI Jakarta harus memiliki suatu konsep yang matang agar permasalahan transportasi publik seperti Bus Transjakarta Busway tidak terjadi kembali dimasa yang akan datang.

1.2 Rumusan Masalah
            Berdasarkan dari latar belakang penelitian tersebut, dapat diketahui bahwa masih banyak permasalahan yang terjadi didalam pelayanan transportasi publik Bus Transjakarta. Dengan melihat fenomena permasalah yang telah dikemukakan diatas, maka peneliti mengidentifikasi dan merumuskan masalah sebagai berikut, bagaimana implementasi kebijakan transportasi publik Bus Transjakarta/Busway yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam rangka mengurangi kemacetan.

1.3 Maksud dan Tujuan Penulisan
1.3.1    Maksud Penulisan
           Maksud dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan data dan informasi tentang implementasi kebijakan transportasi publik Bus Transjakarta/Busway yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam rangka mengurangi kemacetan.

1.3.2    Tujuan Penulisan
      Tujuan peneliti melakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana permasalahan implementasi kebijakan transportasi publik Bus Transjakarta/Busway yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam rangka mengurangi kemacetan.




BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

           
2.1       Tinjauan Putaka
            Menurut Charles O. Jones dalam Budiman Rusli (2013 : 33), kebijakan adalah program dan keputusan-keputusan. Didalam Kamus Webster kebijakan adalah prinsip atau cara bertindak yang dipilih untuk mengarahkan pengambilan keputusan. Dapat dikatakan kebijakan adalah sebuah program yang kegiatannya mengarah kepada pengambilan keputusan.
            Menurut Carl J.Freindrich (Soenarko, 2000), kebijakan : suatu tindakan yang diusulkan pada seseorang golongan/pemerintah dalam suatu lingkungan dengan halangan-halangan dan tantangan-tantangan yang diharapkan dapat memenuhi dan mengatasi halangan tersebut dalam rangka mencapai suatu cita-cita/mewujudkan suatu kehendak serta tujuan tersebut. Sedangkan menurut Hasswel & Kapla (Mustofa, 2003), Policy : A Project program of goals, values and practices. (Kebijakan : suatu program pencapaian tujuan, nilai-nilai dan praktek-praktek yang terarah.)
            Kebijakan publik adalah strategi untuk mengantar masyarakat pada masa awal, memasuki masyarakat pada masa transisi, untuk menuju pada masyarakat yang dicita-citakan.” (Nugroho, 2003:51).  Menurut Riant Nugroho, kebijakan publik adalah “keputusan yang dibuat oleh negara, khususnya pemerintah, sebagai strategi untuk merealisasikan tujuan negara yang bersangkutan.
            Secara konseptual, implementasi sebuah kegiatan atau program yang tertuang dalam kebijakan adalah sebuah tindakan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam suatu keputusan. Tindakan ini berusaha untuk mentransformasikan apa yang tertulis dalam keputusan-keputusan tersebut menjadi pola-pola operasional serta berusaha mencapai hasil yang diinginkan, baik itu berupa sejumlah perubahan-perubahan besar atau kecil sebagaimana yang telah ditetapkan sebelumnya. Intinya adalah pencapaian sebuah tujuan. Dan tujuan tersebut bisa saja berupa tujuan antara atau tujuan yang sebenarnya, tergantung dari sudut pandang mana yang dimaknai. Dari tujuan tersebut kemudian sebuah kegiatan implementasi dinilai apakah ia masuk kategori baik, sedang atau bahkan gagal mencapai tujuan.
            Dalam kaitan ini Nugroho dalam Budiman Rusli (2013 : 84) berpendapat bahwa : Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya. Oleh sebeb itu, untuk mengimplementasikan suatu kebijakan ada dua pilihan, yakni langsung mengimplementasikannya dalam bentuk program atau melalui formulasi kebijakan derivat atau turunan.
            Van Meter and Van Horn (1974:447-448) yang menyatakan bahwa : “Policy implementation encompasses those action by public or private individuals (or groups) that are directed at the achievement of objectives set forth in prior policy decisions.” (Implementasi kebijakan meliputi tindakan-tindakan oleh individu umum atau pribadi/kelompok yang diarahkan pada pencapaian tujuan yang ditetapkan dalam keputusan kebijakan sebelumnya.)
            Perlu dipahami, impelentasi kebijakan tidak hanya melibatkan instansi yang bertanggung jawab untuk pelaksanaan kebijakan tersebut, namun juga menyangkut jaringan kekuatan politik, ekonomi, dan sosial atau yang sering disebut sebagai lingkungan kebijakan. Dengan pemahaman demikian, semua beban tanggung jawab tidak semata-mata bertumpu pada aparat pelaksana yang notabene adalah salah satu unsur pelaksana kebijakan. Dengan pengertian lain, jika ternyata hasil berupa pencapaian tujuan itu belum berhasil diraih, maka pihak yang harus bertanggung jawab atau menjadi faktor penyebabnya bukan hanya aparat pelaksana kebijakan, tetapi juga sejumlah faktor yang lain.
            Implementasi kebijakan (policy implementation) merupakan tahap pelaksanaan dari desain kebijakan yang telah dirumuskan (policy formulation). Dalam proses pelaksanaan itu diperlukan berbagai aktivitas termasuk penyiapan, pelaksanaan, sosialisasi, peningkatan kapasitas (capacity building) dari pihak pelaksana terutama (aparatur pemerintah). Berbagai tahapan sebelum pelaksanaan merupakan hal penting sebelum, bahkan selama implementasi. Jadi implementasi kebijakan adalah sebuah proses yang rumit atau kompleks dengan melibatkan berbagai aktivitas dan kegiatan serta berbagai macam pemangku kepentingan (stakeholders).
            Kemudian Howlet and Ramesh (2003:185) menyatakan : “Its is defined as the process whereby programs or policies are carried out, the translation of plans into practice”. Ini artinya, implementasi kebijakan adalah proses pelaksanaan program-program atau kebijakan-kebijakan, yang merupakan penerjemahan dari rencana-rencana kedalam praktek.
            Mazmania & Sabatier (2004:169) menandaskan bahwa implementasi sebagai “Pelaksanaan berbagai keputusan, baik yang berasal dari legislatif, eksekutif maupun yudikatif”. Pengertian di atas menggambarkan bahwa implementasi kebijakan esensinya adalah melakasanakan berbagai keputusan yang telah dicanangkan oleh kelembagaan pemerintah, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif.
             Grindle (1980) juga memberikan pandangannya tentang implementasi dengan mengatakan bahwa secara umum, tugas implementasi adalah membentuk suatu kaitan yang memudahkan tujuan-tujuan kebijakan bisa direalisasikan sebagai dampak dari suatu kegiatan pemerintah. Oleh karena itu, tugas implementasi mencakup terbentuknya “a policy delivery system”, dimana sarana-sarana tertentu dirancang dan dijalankan dengan harapan sampai pada tujuan-tujuan yang diinginkan. Dengan demikian, kebijakan pernyataan-pernyataan secara luas tentang tujuan, sasaran dan sarana diterjemahkan kedalam program-program tindakan yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang dinyatakan dalam kebijakan.
            Sementara itu, Van Meter dan Van Horn (1974) membatasi implementasi kebijakan sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-individu pemerintah maupun swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan kebijakan sebelumnya. Tindakan-tindakan ini mencakup usaha-usaha untuk mengubah keputusan-keputusan menjadi tindakan-tindakan operasional dalam kurun waktu tertentu maupun dalam rangka melanjutkan usaha-usaha untuk mencapai perubahan-perubahan besar dan kecil yang ditetapkan oleh keputusan-keputusan kebijakan.
                       
2.2       Kerangka Pemikiran
            Didalam penelitian ini, penulis menggunakan teori implementasi kebijakan dari Donald S. Van Meter dan Carl E. Van Horn sebagai alat ukur penelitian. Alat ukur didalam penelitian ini terdiri dari enam indikator yakni :
1.      Ukuran dan Tujuan Kebijakan.
Variabel ini didasarkan pada kepentingan utama terhadap faktor-faktor yang menentukan pencapaian kebijakan. Variabel ini akan mengukur sejauh mana standar dan sasaran kebijakan ini telah terealisasikan, karena implementasi kebijakan tidak dapat berhasil atau mengalami kegagalan bila standar dan sasaran kebijakan ini dipertimbangkan.
2.      Sumber Daya.
Keberhasilan proses implementasi kebijakan sangat tergantung dari kemampuan memanfaatkan sumber daya yang tersedia. Manusia merupakan sumber daya yang terpenting dalam menentukan suatu keberhasilan proses implementasi. Tahap-tahap tertentu dari keseluruhan proses implementasi menuntut adanya sumber daya manusia yang berkualitas sesuai dengan pekerjaan yang diisyaratkan oleh kebijakan yang telah ditetapkan secara politik. Tetapi ketika kompetensi dan kapabilitas dari sumber daya itu nihil, maka kinerja kebijakan publik sangat sulit untuk diharapkan.
3.      Karakteristik Agen Pelaksana.
Pusat perhatian pada agen pelaksana meliputi organisasi formal dan organisasi informal yang akan terlibat pengimplementasian kebijakan publik. Hal ini sangat penting karena kinerja implementasi kebijakan (publik) akan sangat banyak dipengaruhi oleh ciri-ciri yang tepat serta cocok dengan para agen pelaksananya. Misalnya, implementasi kebijakan publik yang berusaha untuk merubah perilaku atau tingkahlaku manusia secara radikal, maka agen pelaksana projek itu haruslah berkarakteristik keras dan ketat pada aturan serta sanksi hukum. Sedangkan bila kebijakan publik itu tidak terlalu merubah perilaku dasar manusia, maka bisa saja agen pelaksana yang diturunkan tidak sekeras dan tidak setegas pada gambaran yang pertama.
4.      Sikap Kecenderungan Para Pelaksana.
Sikap penerimaan atau penolakan dari para pelaksana akan sangat banyak mempengaruhi keberhasilan atau tidaknya kinerja implementasi kebijakan publik. Hal ini sangat mungkin terjadi oleh karena kebijakan yang dilaksanakan bukanlah hasil formulasi warga setempat yang mengenal betul persoalan dan permasalahan yang mereka rasakan. Tetapi kebijakan yang akan implementor laksanaan adalah kebijakan “dari atas” (top down) yang sangat mungkin para pengambil keputusannya tidak pernah mengetahui (bahkan tidak mampu menyentuh) kebutuhan, keinginan, atau permasalahan yang warga ingin selesaikan.
5.      Komunikasi Organisasi Antar Aktivitas Pelaksana.
Koordinasi merupakan mekanisme yang ampuh dalam implementasi kebijakan publik. Semakin baik koordinasi komunikasi diantara pihak-pihak yang terlibat dalam suatu proses implementasi, maka asumsinya kesalah-salahan akan sangat kecil untuk terjadi, dan begitu pula sebaliknya. Seperti yang diketahui sebelumnya sebuah kebijakan harus memiliki ukuran dan tujuan yang jelas.  Agar kebijakan tersebut dapat berjalan dan terlaksana secara efektif, maka ukuran dan tujuan kebijakan tersebut harus dapat dipahami oleh semua pihak yang berkepentingan terhadap kebijakan tersebut. Oleh karena itu proses komunikasi dalam kerangka penyampaian informasi kebijakan merupakan sebuah hal yang penting.
6.      Lingkungan Ekonomi Sosial dan Politik.
Hal terakhir yang perlu juga diperhatikan guna menilai kinerja implementasi publik dalam perspektif yang mana lingkungan eksternal turut mendorong keberhasilan kebijakan publik yang telah ditetapkan. Lingkungan ekonomi, sosial, dan politik yang tidak kondusif dapat menjadi biang keladi dari kegagalan kinerja implementasi kebijakan. Karena itu, upaya untuk mengimplementasi kebijakan harus pula memperhatikan kekondusifan kondisi lingkungan eksternal.
           
2.3       Hipotesis
            Berdasarkan dari kerangka pemikiran yang telah dikemukakan diatas, maka hipotesis didalam penelitia ini menjelaskan, bahwa implementasi kebijakan transportasi publik Bus Transjakarta/Busway akan berjalan baik apabila, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dapat dapat mengatasi permasalahn kemacetan di wilayah DKI Jakarta.




BAB III
PEMBAHASAN


3.1 Pembahasan
3.1.1    Ukuran dan Tujuan Kebijakan
Tidak terlakasanya sebuah implementasi kebijakan publik disebabkan tidak adanya kejelasan mengapa kebijakan tersebut dibuat. Didalam pelaksanaannya kegagalan impelemtasi kebijakan disebabkan tidak adanya tindakan yang amanah atau tidak melaksanakan dengan sungguh-sungguh. Impelentasi kebijakan transportasi busway di DKI Jakarta belum dapat menjawab permasalahan kemacetan di Ibu Kota. Sejak di luncurkan pada tanggal 5 Januari 2004, hingga tahun 2012 belum dapat memberikan kontribusi dalam mengurangi volume kemacetan. Penyerobotan jalur busway dengan masuknya kendaraan pribadi ke dalam jalur koridor busway sudah sering terjadi. Didalam aturannya kendaraan pribadi tidak diperbolehkan untuk masuk ke jalur busway. Jalur busway di buat agar arus lalu lintas busway steril dari kendaraan pribadi dan busway terhindar dari kemacetan. Sehingga muncul harapan dengan menggunakan busway masyarakat dapat melakukan perjalanan dengan lebih cepat, aman, nyaman, dan murah. Dengan demikian, semakin banyaknya pengguna kendaraan pribadi berlalih ke Busway, maka akan mengurangi jumlah kemacetan di DKI Jakarta. Namun apa yang terjadi justru malah sebaliknya. Bus Transjakarta atau busway hampir setiap harinya justru terjebak didalam kemacetan. Jalur yang seharusnya steril dari kendaraan pribadi justru banyak diserobot oleh kendaraan pribandi. Sehingga keberadaan busway disejumlah koridor belum dapat menjawab permasalahan kemacetan.
Agar implementasi kebijakan transportasi publik busway berjalan dengan baik, setiap pengguna kendaraan pribadi yang memasuki jalur busway akan dikenakan sangsi tilang atau denda. Namun denda yang diterapkan masih terlalu kecil. Sehingga belum menimbulkan efek jera bagi para pengguna kendaraan pribadi. Didalam variabel ini, implementasi kebijakan transportasi busway belum sepenuhnya berhasil. Selain masalah jalur busway yang tidak steril, menumpuknya penumpang disejumlah halte busway juga menjadi perhatian. Penumpang Bus Transjakarta belum sepenuhnya merasakan kenyamanan dalam menggunakan transportasi busway. Selain itu kondisi bus yang sudah mulai tua dan rusak. Serta jumlah armada busway yang belum mengimbangi jumlah penumpang busway. Masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh pemerintah Provinsi DKI Jakarta.
            Keberhasilan dari implementasi kebijakan transportasi publik Bus Transjakarta antara lain, adanya ketepatan waktu jarak kedatangan busway dengan busway lainna di halte (headway), stereilnya jalur busway dari kendaraan pribadi, dan kapasitas bus yang memadai. Namun pada kenyataannya ketiga hal tersebut belum 100 persen terealisasi.

3.2 Sumber Daya
            Berbicara sumber daya tidak akan terlepas dari seberapa besar dukungan finansial dan sumber daya yang dimiliki. Dalam melakukan implementasi kebijakan publik tentunya harus didukung oleh sumber daya yang memadai. Implementasi kebijakan busway di Jakarta tentunya harus didukung sumber daya yang cukup. Sumber daya finansial merupakan sumber daya utama yang perlu dipersiapkan, mengingat pembangunan insfrasrutur busway dan pengadaan bus membutuhkan dana yang tidak sedikit.
            Untuk pembangunan Koridor Busway XIII (Cileduk-Blok M) dibutuhkan dana sebesar Rp 1,4 triliun yang berasal dari APBD DKI Jakarta tahun 2013. Pembangunan koridor busway XII ini masih dalam tahap perencanaan dan diharapkan selesai pada tahun 2015. Dengan adanya jalur koridor busway XIII diharapkan masyarakat dapat beralih ke moda transportasi Bus Transjakarta.
            Bus Transjakarta dikelola oleh dikelola oleh Badan Layanan Umum Transjakarta (BLUJT). Lembaga ini dibentuk pada tahun 2003 berdasarkan SK Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 110/2003 tentang Pembentukan BP Transjakarta. Pada tahun 2006 namanya kemudian diganti menjadi Badan Layanan Umum Transjakarta berdasarkan Peraturan Gubernur Nomor 48 Tahun 2006. BLUTJ bernaung di bawah Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta.
            Pengoperasian bus Transjakarta didukung oleh sembilan operator bus Transjakarta yang beroperasi disejumlah koridor. Sembilan operator yang mengoperasikan bus Transjakarta yaitu : PT. Jakarta Express Trans (JET), PT. Trans Batavia (TB), PT. Jakarta Trans Metropolitan (JTM), PT. Primajasa Perdayana Utama (PP), PT. Jakarta Mega Trans (JMT), PT. Eka Sari Lorena (LRN), PT. Bianglala Metropolitan (BMP), PT. Trans Mayapada Busway (TMB), dan Perum Damri (DMR).
            Untuk menunjang moda trasnportasi massal bus Transjakarta, Badan Layanan Umum Transjakarta (BLUJT) didukung oleh 6000 karyawan yang terdiri dari pramudi, petugas pengamanan, petugas tiket dan petugas kebersihan. Bus Transjakarta Busway juga memiliki 215 halte dan 669 unit bus yang tersebar di 12 koridor busway. Bus Transjakarta juga didukung oleh feeder busway. Feeder Busway adalah sistem angkutan penumpang umum yang terintegrasi dengan koridor busway. Guna mengakomodir transportasi masyarakat yang beraktifitas di kawasan sentra bisnis namun belum terhubung dengan jalur busway, maka dioperasikan bus pengumpan (feeder bus) pada tanggal 28 September 2011.
            Bila dilihat dari sudut pandang bisnis, pada bulan maret 2013 bus Transjakarta Busway telah memperoleh pendapatan sekitar Rp. 30, 5 Miliar. Jumlah tersebut meningkat sekitar 40 % atau naik Rp 4,5 Miliar dari bulan februari 2013 yang berjumlah Rp. 26,5 Miliar. Ini artinya secara bisnis jumlah pendapatan bus Transjakarta mengalami peningkatan yang signifikan. Secara bisnis pelayanan bus Transjakarta dapat dinilai cukup berhasil.
            Bila diliat dari jumlah penumpang antara januari 2013 hingga april 2013 juga mengalami peningkatan sekitar 80 %. Walaupun pada tahun 2012 jumlah penumpang busway mengalami pasang surut. Pada bulan desember 2012 saja mengalami penurunan 30 %. Sedangkan di bulan agustus 2012 mengalami penurunan jumlah penumpang yang hampir mencapai 70%. Ini artinya pada tahun 2013, jumlah penumpang bus Transjakarta Busway mengalami peningkatan. Walaupun kemacetan masih sering terjadi di wilayah DKI Jakarta.
            Untuk mendukung kelacaran operasional bus Transjakarta Busway , BLUTJ selaku pengelola masih membutuhkan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBBG) tambahan untuk memenuhi bus Trasnjakarta yang menggunakan bahan bakar gas. Saat ini jumlah SPBBG sebanyak 16 SPBBG yang tersebar diwilayah Jakarta. Namun lokasi SPBBG belum dapat dijangkau oleh busway karena lokasi yang jauh dari koridor yang dilalui. Sehingga membuat headway di sejumlah koridor menjadi lama. Selama ini SPBBG yang ada digunakan untuk memenuhi bahan bakar gas bajaj dan bus Transjakarta Busway. Untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar gas busway, maka diperlukan penambahan jumlah SPBBG setiap koridor busway.

3.3 Karakteristik Agen Pelaksana
            Keberhasilan sebuah kebijakan juga dilihat dari karakteristik agen pelaksana. Karakteristik agen pelaksana sangat mempengaruhi sebuah kebijakan. Jika kondisi agen pelaksana baik maka sebuah kebijakan yang telah ditetapkan akan berjalan dengan baik. Jika kondisi agen pelaksana tidak baik, maka kebijakan yang dibuat tidak akan berjalan dengan baik dan tidak berjalan secara optimal.
            Kinerja implementasi kebijakan publik sangat dipengaruhi oleh para agen pelaksananya. Dalam hal ini agen pelaksana kebijakan publik meliputi Gubernur DKI Jakarta selaku pembuat kebijakan dengan dibantu satuan tugas (Satgas) khusus selaku pelaksana implementasi kebijakan dilapangan. Satgas tersebut meliputi gabungan Kepolisian, Dishub DKI Jakarta, Garnisun, Propam Jakarta, Satpol PP, dan BLU Transjakarta. Tugas dari satgas tersebut meliputi pengamanan halte busway, mensterilkan jalur busway, penegakkan hukum,  Dalam satgas ini Dishub DKI dan Kepolisian bertugas menertibkan kendaraan yang melintas di jalur busway dan melakukan pengaturan, penindakan pelanggaran lalu lintas, Garnisun bertugas menertibkan kendaraan TNI yang melintas di lajur busway sedangkan Propam menertibkan kendaraan Kepolisian, Satpol PP bertugas menertibkan pedagang kaki lima yang menganggu jalur busway, JPO, dan halte, sedangkan BLU Transjakarta membantu dalam pengaturan lalu lintas di jalur bus Transjakarta.
            Dengan adanya satgas ini, diharapkan dapat merubah perilaku para pengguna kendaraan pribadi untuk tidak masuk ke jalur busway. Serta meningkatkan keamanan dan kenyamanan penumpang dalam menggunakan transportasi busway. Ketegasan satgas dalam menindak setiap pelanggaran di jalur busway sangat diperlukan. Dengan adanya satgas khusus ini, layanan bus Transjakarta menjadi lebih baik, dapat mengurangi kecelakaan di jalur busway. Selain itu waktu tempuh kedatangan bus lebih cepat sehingga penumpang tidak menunggu lama di halte busway. Penindakan kendaraan dilakukan kepada semua pengemudi kendaraan yang masuk jalur busway mengacu pada Perda No.8 Tahun 2007 yang berisi kendaraan bermotor roda dua atau lebih dilarang masuk jalur busway dan sanksi yang akan dikenakan sesuai ketentuan yang berlaku.

3.4 Sikap Kecenderungan Pelaksana
            Keberhasilan sebuah implementasi kebijakan tidak terlepas dari peran dan sikap pelaksana. Impelementasi kebijakan publik akan berjalan efektif apabila didalam pelaksanaannya pihak-pihak yang terkait dapat memahami tugas yang akan dilakukan. Selain itu pihak yang terlibat didalam sebuah implementasi kebijakan publik merupakan pihak-pihak yang memiliki kopetensi di bidangnya.
            Dalam hal ini pihak-pihak yang terkait didalam menjalankan implementasi kebijakan transportasi publik Transjakarta tergabung dalam satuan gabungan (Satgas) khusus meliputi, Kepolisian, Dishub DKI Jakarta, Garnisun, Propam Jakarta, Satpol PP, dan BLU Transjakarta. Menurut kepala Dinas Perhubungan DKI Udar Pristono ada 486 petugas satgas khusus untuk melakukan strerilisasi jalur busway, pengamanan halte busway, dan penertiban parkir liar. Petugas satgas tersebut terdiri dari Kepolisian, Dishub DKI Jakarta, Garnisun, Propam Jakarta dan Satpol PP. Sementara pengoperasian busway dilakukan oleh Badan Layanan Umum (BLU) Transjakarta.
            Dengan dibentuknya satgas khusus busway, rupanya belum dapat memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat. Beberapa jalur busway belum strelir dari kendaraan pribadi. Dampak dari tidak strelirnya jalur busway dari kendaraan pribadi menimbulkan tabrakan antara bus Transjakarta dengan kendaraan pribadi. Seperti yang terjadi di koridor IV jalan Mamapang Prapatan, Jakarta Selatan, dimana bus Transjakarta menabrak pengguna sepeda motor yang menyebabkan pengguna motor tewas. (merdeka.com 2/6/13)  Tabrakan bus Transjakarta dengan sepeda motor merupakan gambaran bahwa jalur busway belum steril dari kendaraan pribadi. Selain belum sterilnya jalur busway dari kendaraan pribadi, jalur busway belum steril dari para pejalan kaki yang menyebrang di jalur busway. Hal ini seperti yang terjadi di persimpangan Bukit Duri, Jatinegara Barat, dimana seorang kakek yang akan menyebrang di tabrak oleh bus Transjakarta yang menyebabkan korban meninggal dunia. Bahkan semua kasus tabrakan bus Transjakarta dilimpahkan  ke kejaksaan. Dengan banyaknya kasus tabrakan yang melibatkan bus Transjakarta, kinerja sopir bus Transjakarta harus di evalusi dan dikontrol. (http://www.suarapembaruan.com/, 9/11/11).
Selain itu kualitas pelayanan bus Transjakarta buruk dan banyak dikeluhkan oleh masyarakat. Seperti yang disampaikan oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), bahwa masih banyak masyarakat Jakarta yang kurang puas terhadap pelayanan bus Transjakarta. Berdasarkan dari hasil jajak pendapat yang dilakukan oleh YLKI pada tahun 2011, dari total 3000 responden, 50 % persen mengeluhkan keterlambatan busway hingga lokasi tujuan. Kemudian 1,24% responden mengeluhkan masalah keamanan didalam bus Transjakarta, seperti pelecehan. Sementara pada tahun 2011, Badan Layanan Umum Trasnjakarta mencatat ada delapan kasus pelecehan didalam bus Transjakarta. YLKI juga mencatat, sebanyak 45 % responden mengaku percaya bahwa pelaporan ke layanan call center akan ditindak lanjuti. Hal ini dapat menjadi bahan kajian untuk melakukan kajian evaluasi kinerja BLU Transjakarta selaku pengelola. Perlu adanya pembenahan didalam manajemen Badan Layanan Umum Transjakarta.
Permasalahan kualitas pelayanan bus Transjakarta juga menjadi perhatian Gubernur DKI Jakarta Jokowi. Gubernur DKI Jakarta Jokowi merespon dengan mengganti kepala Badan Layanan Umum Transjakarta M.Akbar. Pergantian ketua BLU Transjakarta dikarenakan banyaknya keluhan masayarakat terhadap kualitas pelayanan bus Transjakarta yang buruk.
            Dengan melihat dari kasus tersebut, kinerja karakteristik para pelaksana implementasi kebijakan yang melibatkan petugas satgas khusus bus Transjakarta, belum bekerja secara optimal. Kinerja satgas busway harus ditingkatkan dan diperbaiki. Apa yang dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta dengan mengganti kepala BLU Transjakrta merupakan salah satu cara untuk memperbaiki kualitas pelayanan busway. Diharapkan dengan adanya kepala BLU Transjakarta yang baru, kualitas pelayanan bus Transjakarta Busway untuk kedepannya lebih baik lagi. Dengan meningkatnya kualitas pelayanan bus Transjakarta, maka akan semakin banyak masyarakat yang beralih ke moda transportasi bus Transjakarta Busway. Sehingga jumlah volume kendaraan pribadi akan berkurang dan kemacetan pun berkurang.



3.5  Komunikasi Antar Organisasi dan Aktivitas  Pelaksana
            Dalam melaksanakan sebuah implementasi kebijakan publik perlua adanya komunikasi antar pihak pelaksana implementasi. Satuan Gabugan Khusus merupakan perangkat pelaksana implementasi kebijakan transportasi publik bus Transjakarta busway. Satuan Gabungan Khusus atau Satgas merupakan gabungan dari Kepolisian, Dishub DKI Jakarta, Garnisun, Propam Jakarta, Satpol PP, dan BLU Transjakarta.
            Untuk memperlancar implementasi kebijakan transportasi publik bus Transjakarta perlu adanya koordinasi diantara para anggota satgas. Komunikasi yang tidak baik didalam koordinasi diantara satgas menyebabkan terhambatnya pencapaian tujuan kebijakan tersebut. Jalinan komunikasi harus dilaksanakan secara efektif agar pesan yang disampaikan dapat diterima dan dipahami.
            Didalam menjalankan komunikasi antar organisasi, terdapat pembagian tugas. Untuk melakukan strerilisasi jalur busway, pengamanan halte busway, dan penertiban parkir liar, dilakukan oleh Kepolisian, Dishub DKI Jakarta, Garnisun, Propam Jakarta dan Satpol PP. Sementara untuk pengoperasian busway dilakukan oleh Badan Layanan Umum (BLU) Transjakarta.

3.6 Lingkungan Ekonomi Sosial dan Politik
            Ada beberapa kendala yang dihadapi oleh implementor dalam mengimplementasikan sebuah kebijakan publik. Hambatan-hambatan tersebut diantaranya kondisi yang berlangsung didalam suatu negara atau daerah seperti secara gejolak ekonomi sosial dan politik. Kondisi tersebut berpengaruh terhadap palaksanaan sebuah kebijakan.
            Masalah yang mempengaruhi implementasi kebijakan transportasi publik bus Transjakarta adalah lingkungan ekonomi. Dari sudut pandang ekonomi, implementasi kebijakan bus Transjakarta busway yang dijalankan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sudah cukup bagus. Harga tiket busway sudah terjangkau oleh masyarakat pengguna bus Transjakarta. Disaat harga BBM naik per tanggal 22 Juni 2013, harga tiket busway tidak naik tetap berada di harga Rp. 3.500,00.  Selain itu, pelayanan Bus Transjakarta juga sudah dilengkapi dengan Sistem E Tiketing Transjakarta Busway. Penerapan sistem pembayaran baru yaitu Electronic Tiketing Transjakarta Busway berbasis E-Money atau uang Electronic Multi Issuer telah diterapkan di koridor 1 (Blok M-Kota) yang diresmikan oleh Gubernur Provinsi DKI Jakarta pada 22 Januari 2013 lalu. Penambahan sistem e-tiketing ini juga telah digunakan di koridor 3 (Kalideres-Harmoni) yang mulai berjalan pada April 2013.
            Tujuan penerapan sistem ini bagi penumpang adalah lebih cepat dan praktis dalam bertransaksi, bagi manajemen Transjakarta lebih aman, transparan dan akuntabel dan bagi Pemerintah adalah untuk lebih cepatnya terbentuk Cashless Society. (http://www.transjakarta.co.id/news.php?id=338)
Gambar 1.1 Kartu Electronic Tiketing Transjakarta Busway

Sumber : http://infojkt.com/maret-2013-tiket-bus-transjakarta-gunakan-sistem-elektronik/e-money-bus-transjakarta/

            Sistem Electronic Tiketing Transjakarta Busway berbasis E-Money merupakan kerjasama dengan 5 (lima) bank yaitu Bank BNI, Bank Mandiri, Bank BRI, Bank BCA dan Bank DKI. Pembangunan infrastruktur sistem e-tiketing Transjakarta Busway dilakukan oleh PT. Gamatechno Indonesia yang juga bertanggung jawab dalam pemeliharaan sistem. Cukup dengan menggunakan salah satu kartu dari lima bank diatas, penumpang dapat melakukan transaksi beli tiket Transjakarta menjadi lebih cepat dan praktis karena tidak lagi direpotkan dengan uang kembali/uang receh. Lokasi untuk membeli dan isi ulang kartu pra bayar ini dapat dilakukan di halte-halte Transjakarta, merchant-merchat yang ditunjuk oleh lima bank tersebut serta di kantor cabang masing-masing bank. Untuk dapat digunakan, kartu pra bayar ini harus diisi terlebih dahulu (maksimal Rp. 1.000.000) dan dapat diisi ulang (top up). Cara menggunakan kartu ini sangat mudah, yaitu dengan menempelkan kartu pra bayar pada reader kartu yang telah ada kemudian pembayaran akan langsung diproses secara otomatis dan saldo akan berkurang sejumlah nilai transaksi yang telah dilakukan.
            Pemerintah DKI Jakarta menginginkan agar transaksi pengguna Bus Transjakarta dapat beralih ke tiket elektronik. Keuntungan menggunakan tiket elektronik ini adalah lebih efisien dan aman. Penumpang tidak perlu khawatir jika sampai terjaid uang kembaliannya kurang. Jadi penumpang Bus Transjakarta atau Busway tidak perlu lagi membawa uang tunai ketika akan menggunkan jasa transportasi Busway. Cukup gunakan kartu Electronic Tiketing Transjakarta Busway atau Jakcard yang ditempelkan pada mesin reader yang ada di pintu masuk halte Transjakarta. Ketika ditempelkan lampu hijau akan menyala dan bunyi “beep” pada pintu masuk. Penumpang bisa langsung memasuki ruang tunggu bus dan tidak perlu lagi mengantri di loket untuk membeli tiket.
            Untuk lingkungan sosial, penerapan moda transportasi publik model Bus Rapid Transit (BRT) seperti busway,  dinilai sangat tepat. Mengingat jumlah perpindahan mobilisasi masyarakat di Jakarta cukup tinggi. Untuk itu moda transporatsi masal seperti busway sangat diperlukan.
Dalam kurun waktu lima tahun, yakni periode 2004 – 2009, jumlah penumpang Bus Transjakarta dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Penambahan jumlah koridor Busway juga menjadi pendorong meningkatnya jumlah penumpang Busway. Hal ini juga kita dapat melihat pada grafik 1.1 dibawah ini :
Garfik 1.1 Jumlah Penumpang Busway


            Data penumpang tersebut merupakan hasil dari penelitian Institute Transportation and Developement Policy (ITDP) Indonesia. Hal ini menandakan adanya perpindahan pengguna kendaraan pribadi ke transportasi Busway yang mencapai 14 persen. Bus Trnasjakarta atau Busway merupakan sarana transportasi yang paling tinggi frekuensinya dalam memindahkan pengguna mobil pribadi ke moda transportasi Bus Rappit Transit (BRT) seperti Bus Transjakarta.
            Pada tahun 2011 jumlah penumpang Busway pada tahun 2011 per harinya mencapai 229.173 penumpang per hari. (http://news.okezone.com/) dan tahun 2013 ini sudah mencapai 350.000 penumpang per hari. Ini artinya semakin banyak masyarakat yang mulai berlalih dari kendaraan pribadi ke Bus Transjakarta. Namun kualitas pelayanan Bus Transjakarta beberapa tahun terakhir mengalami penurunan. Banyak faktor yang menyebabkan pelayanan Busway tidak maksimal, diantaranya disebabkan oleh, jalur Busway yang tidak steril dari kendaraan pribadi, menumpuknya penumpang di dalam halte, jarak waktu tempuh yang lama, Busway yang terbakar, dan tidak sebandingnya kapasitas Busway dengan jumlah penumpang.
            Bus Rapid Transit (BRT) atau yang lebih dikenal dengan transjakarta sudah dijalankan selama tujuh tahun di Jakarta. Ternyata hingga saat ini BRT belum menghasilkan manfaat yang maksimal bagi masyarakat. Meski jumlah penumpangnya saat ini sudah mencapai 350.000 per hari yang dilayani dengan 524 buah bus. Jumlah yang seharusnya dapat diangkut oleh 1 buah bus dalam satu hari hanya mengangkat 667 penumpang/bus/hari, seharusnya jumlah penumpang bisa jauh lebih banyak lagi, seperti di Curritiba bisa mengangkut sampai 1450 penumpang/bus/hari.
            Dibidang politik, pemerintah berperan sebagai pembuat aturan harus bisa mengambil sebuah keputusan didalam mengeluarkan sebuah kebijakan kepada masyarakat. Didalam pengambilan keputusan, sebaiknya pemerintah Provinsi DKI Jakarta melakukan kajian terhadap dampak yang dihasilkan dari kebijakan tersebut. Sebuah kebijakan publik tentunya menimbulkan dampa negatif dan positif. Untuk dampak negatif pemprov DKI harus dapat menimialisir.
            Badan Layanan Umum Trasnjakarta merupakan pelaksana langsung pengoperasian bus Transjakarta busway. Badan Layanan Umum Transjakarta berada dibawah koordinasi Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta.
            Selama ini manajemen bus Transjakarta selalu menjadi sorotan pengguna bus Transjakarta. Manajemen bus Transjakarta dinilai buruk dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Belum tertatanya manajemen BLU Transjakarta membuat Gubernur DKI Jakarta Jokowi mencopot kepala unit BLU Jakarta Muhammad Akbar dicopot dari jabatannya. Diharapkan dengan digantinya kepala unit BLU Transjakarta pelayanan busway dapat meningkat menjadi lebih baik.




BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN


4.1 Kesimpulan
            Berdasarkan dari hasil pembahsan di atas, maka dapat diambil kesimpulan, bahwa implementasi kebijakan trasnportasi publik bus tarnsjakarta busway masih terdapat kekurangan dan harus diperbaiki. Kekurangan tersebut antara lain belum maksimalnya petugas gabungan khusus busway dalam menindak kendaraan umum yang menilatsi di jalur busway. Kualitas pelayanan busway masih dikeluhkan oleh pengguna transportasi busway. Namun dari sisi ekonomi transportasi busway sudah dapat dinikmati oleh masyarakat Jakarta. Implementasi kebijakan publik harus dijalankan oleh pihak yang berkopetensi di bidakngnya, dengan melibatkan para ahli diluar organisasi BLU Transjakarta.
           
4.2 Saran
            Pemerintah Provinsi DKI Jakarta seharusnya terus melakukan monitoring terhadap kinerja perangkat bus Transjakarta agar pelayanan tetap prima. Sumber daya bahan bakar gas (BBG) untuk bahan bakar busway juga harus ditingktakan dengan menyediakan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas (SPBBG) di setiap koridor busway.



  
Daftar Pustaka

Mazmanian, Daniel A dan Sabatier, Paul A.   1983. Implementation and Public Policy.  London: Scott, Foresman and Company
Meter, Donald S. Van dan Horn, Carl E. Van.1975.The Policy Implementation Process.  Chicago: Sage Publication
Nugroho, Riant D. 2003. Kebijakan Publik  Formulasi, Implementasi, dan Evaluasi.   Jakarta: PT. Elex Media Komputindo
Rusli, Budiman. 2013. Kebijakan Publik Membangun Pelayanan Publik yang Responsif. Bandung: Hakim Publishing.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Recent Posts